Daán yahya

Oleh: Hasanul Rizqa

Kaum Muslimin di sepanjang histori mengalami berbagai bentuk pemerintahan.

Negara-bangsa (nation-state) merupakan sistem pemerintahan modern yang saat ini diterapkan di hampir seluruh penjuru bumi. Merujuk pada berbagai literatur, konsep tersebut dipandang muncul pertama kali di dunia Barat. Revolusi Amerika Serikat (1765-1783) dan Revolusi Prancis (1789-1799) dianggap sebagai tonggak bersejarah dalam hal ini. Keduanya mengawali hadirnya tatanan baru yang melahirkan nation-state.

 

Seorang filsuf Prancis, Ernest Renan (1823-1892), dalam risalahnya yang berjudul “Qu’est-ce qu’une nation?” mendefinisikan bangsa sebagai “jiwa” yang timbul dari dua faktor. Pertama, aspek historis yakni narasi tentang masa lampau yang agung. Kedua, kehendak untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble) dengan perasaan kesetiakawanan yang besar.

 

Lebih lanjut, Renan meyakini bahwa syarat utama adanya bangsa adalah plebisit, yaitu penentuan status yang memerlukan persetujuan bersama pada waktu sekarang, yang mengandung hasrat untuk mau hidup bersama dengan kesediaan memberikan pengorbanan. Suatu bangsa akan tetap bersatu di sepanjang masa kalau tiap warganya mau berkorban demi eksistensi negaranya.

 

Dalam perspektif historiografi Islam, fenomena negara-bangsa sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru muncul. Sebab, bangsa baik dalam artian sosiologis maupun politis sudah menggejala sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Nurcholis Madjid dalam Indonesia Kita menjelaskan, pengertian bangsa (nation) dalam bahasa Arab sering diungkapkan dengan istilah umat (ummah). Sebagai contoh, Perserikatan Bangsa-bangsa (the United Nations) disebut sebagai al-Umam al-Muttahidah, ‘Umat-umat Bersatu.’

 

Menurut Nurcholis Madjid, negara-bangsa adalah entitas untuk seluruh umat, yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual terbuka antara pihak-pihak. Tujuannya adalah mewujudkan kemaslahatan umum (general welfare) yang meliputi seluruh warga tanpa terkecuali. Dari sudut pandang itu, negara-bangsa berbeda dengan kerajaan yang terbentuk tidak melalui kontrak sosial, melainkan kepeloporan seorang tokoh yang dominan, seumpama pendiri dinasti.

 

Becermin pada sejarah Islam, Madinah al-Munawwarah yang dibangun Rasulullah SAW cenderung hadir sebagai sebuah entitas politik yang berdasarkan pengertian negara-bangsa modern. Sebab, entitas tersebut berdiri melalui kontrak sosial yang bertujuan kemaslahatan bersama seluruh warga setempat, bukan hanya elemen tertentu semisal umat Islam. Sebagaimana termuat dalam Piagam Madinah, negara-bangsa didirikan atas dasar konsolidasi seluruh kekuatan masyarakat menjadi bangsa yang satu (ummah wahidah) tanpa membeda-bedakan antara kelompok-kelompok keagamaan yang ada.

 

Menurut Liaquat Ali Khan, Piagam Madinah adalah sebuah kontrak sosial yang mengikat seluruh elemen masyarakat kota yang dahulu bernama Yastrib itu. Karena itu, kaum Yahudi, umpamanya, diakui memiliki hak sepenuhnya atas agama mereka. Demikian pula, kaum Muslimin mempunyai hak sepenuhnya atas agama Islam.

 

Antarsesama warga Madinah terjalin hubungan yang saling mengingatkan dan memberi nasihat dengan baik, serta bebas dari kecurangan. Nurcholis menekankan, inilah social contract yang terwujud atas dasar kejujuran dan kebajikan. “Semua warga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam hal biaya kemasyarakatan dan kenegaraan, terutama di bidang pertahanan,” tulis cendekiawan Universitas Paramadina ini.

 

Dalam perkembangan kemudian, memang terdapat tiga kelompok Yahudi setempat yang melakukan pengkhianatan. Mereka adalah Bani Qurayzhah, Qaynuqa, dan Nadhir. Ketiganya lalu diusir keluar Madinah. Namun, masih ada kalangan Yahudi yang terus bertahan untuk tinggal di Madinah karena mereka berpegang pada amanat Piagam.

 

Sesudah wafatnya Rasul SAW, Madinah tetap menjadi pusat daulah Islam. Pada era Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan, kota tersebut berfungsi sebagai ibu kota. Dari sanalah pemerintah Khulafaur Rasyidin menjalankan tugasnya dalam rangka mewujudkan maslahat bersama dan sekaligus menegakkan syariat Islam.

 

Pada tahun 35 H, Utsman gugur dalam serangan yang dilakukan para pemberontak. Peristiwa itu menjadikan suasana Madinah tidak lagi kondusif. Khalifah yang baru, Ali bin Abi Thalib, berinisiatif memindahkan ibu kota ke Kufah, Irak. Dalam menjalankan pemerintahan, sepupu Nabi SAW tersebut mendapatkan pertentangan, antara lain, dari kubu Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang sejak masa Utsman berposisi sebagai gubernur Syam.

 

Setelah beberapa kali berkonflik, pada akhirnya kelompok Mu’awiyah lebih unggul. Ali gugur akibat dibunuh seorang ekstremis Khawarij. Husain bin Ali pun gugur dalam Perang Karbala di tangan Yazid bin Mu’awiyah. Hasan bin Ali sempat dibaiat para pengikutnya sebagai khalifah berikutnya. Namun, pada 41 H cucu Rasulullah SAW itu kemudian mengakui Mu’awiyah sebagai pemimpin. Sejak saat itu, kaum Muslimin kembali bersatu di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Momen itu pun dikenang sebagai Tahun Persatuan (`Am al-Jama’ah).

DOK  WIKIPEDIA

Monarki

Sejak saat itu, dimulailah satu fase baru dalam sejarah pemerintahan umat Islam. Era Khulafaur Rasyidin berganti dengan Dinasti Umayyah. Wangsa yang didirikan Mu’waiyah ini langgeng sejak tahun 41 H/661 M sampai 133 H/750 M.

 

Berbeda dengan pemerintahan Madinah oleh Nabi SAW dan masa Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah menerapkan sistem monarki yang bersifat turun temurun. Sistem pemerintahan tersebut adalah pengalaman baru bagi umat Islam saat itu. Sebab, hampir sekitar 40 tahun sejak Piagam Madinah Muslimin menjalankan sistem yang demokratis.

 

Munculnya gagasan monarki dalam kekhalifahan Islam bermula sejak Mu’awiyah bin Abi Sufyan menerima baiat dari Muslimin, termasuk kubu Hasan bin Ali. Menurut Nurhasan dalam “Mu’awiyah: Penggagas Pertama Sistem Monarkhi Dalam Islam” (2011), pendiri Dinasti Umayyah itu di ujung usianya merasakan kegalauan. Sebab, saat itu tidak ada aturan baku yang definitif untuk mengatur suksesi kepemimpinan.

 

Berangkat dari kegelisahan itu, Mu’awiyah pun memunculkan ide adanya putra mahkota. Nurhasan merangkum dua pendapat mengenai siapa penggagas hal itu. Ada yang menyatakan, Mughirah bin Shu’bah adalah sosok yang menganjurkan Mu’awiyah agar mengangkat putranya sendiri, Yazid, sebagai penerusnya kelak.

 

Sejarawan M Khudari dalam Muhadharat Tarikh al-Umam al-Islamiyyah ad-Dawlah al-Umawiyah menuturkan, Mughirah bin Shu’bah pernah berkata kepada Yazid, “Para sahabat Nabi SAW dan pembesar Quraisy kini telah tiada. Yang ada sekarang hanyalah anak-anak mereka. Maka, saya tidak tahu apa yang menghalangi amirul mukminin (Mu’awiyah) untuk tidak mengangkatmu (sebagai penerus kerajaan).”

 

Tidak hanya itu, Mughirah pun menggalang opini dari para pendukungnya, terutama masyarakat Kufah. Sesudah itu, ia menghadap Mu’awiyah di Damaskus. Sang raja menanggapinya dengan berkata, “Jangan terburu-buru. Simpanlah pendapatmu.” Bagaimanapun, sejak itu amirul mukminin tersebut semakin yakin untuk menunjuk putranya sendiri sebagai khalifah sepeninggalan dirinya.

 

Namun, ada pula pendapat yang menyebut bahwa penggagas penunjukan putra mahkota bukanlah Mughirah, melainkan Mu’awiyah bin Abi Sufyan sendiri. Sejumlah penulis seperti Ali Muhammad ash-Shallabi, Bernard Lewis, dan Karen Armstrong mengkritisi riwayat tentang Mughirah, khususnya yang datang dari Ali bin Mujahid al-Kalbi (wafat 182 H), penulis Al-Maghazi. Ash-Shallabi menemukan, ide pembaiatan Yazid bin Mu’awiyah muncul sekitar tahun 53 H, sedangkan Mughirah sendiri wafat pada 50 H.

 

Lebih lanjut, Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah sosok yang cerdas dan visioner. Ia menyadari bahwa kondisi persatuan kaum Muslimin saat itu masih rentan. Perasaan solidaritas yang muncul sejak masa awal Khulafaur Rasyidin kemudian terguncang akibat terbunuhnya Utsman bin Affan. Terlebih lagi, peristiwa itu diikuti dengan berbagai perang saudara sesama umat Islam.

 

Mu’awiyah pun berpikir keras untuk merekatkan kembali kohesivitas umat Islam secara sosial dan kenegaraan. Baginya, konflik perebutan kekuasaan mesti dihindari agar tidak terjadi lagi pertumpahan darah sesama Muslimin. Maka dari itu, ia mulai mentransformasi sistem pemerintahan menjadi monarki Arab, yang didominasi suku bangsa Arab.

 

Menurut Karen Armstrong, bangsa Arab sejak zaman pra-Islam cenderung menolak bentuk kerajaan karena sistem pemerintahan itu dianggap kurang fisibel di wilayah Jazirah Arab. Di sana, suku-suku kerap berkompetisi dalam mencari sumber-sumber penghidupan yang terbatas, utamanya air. Selama masih ada orang terbaik yang dapat dijadikan pemimpin, mereka merasa tidak perlu menerapkan pewarisan kekuasaan.

 

Namun, pengalaman perang saudara—seperti Perang Unta, Perang Shiffin, dan Padang Karbala—telah menunjukkan bahwa hal itu justru dapat mengancam persatuan. Demi menghindari besarnya potensi konflik internal umat, Mu’awiyah pun berinisiatif menjadikan anaknya sebagai calon penggantinya.

 

Yazid dibaiat ketika Mu’awiyah masih hidup. Hal itu merupakan fenomena yang baru bagi umat saat itu. Sebab, sebelumnya jabatan khalifah diisi sosok baru sesudah amirul mukminin tiada. Sebagai contoh, Umar tidak diangkat menjadi khalifah kecuali setelah Abu Bakar wafat.

 

Pada mulanya, ide monarki cenderung asing bagi masyarakat Hijaz. Hal itu berbeda dengan masyarakat Muslimin di Syam atau Irak. Sebab, wilayah masing-masing penduduk setempat, jauh sebelum kedatangan ekspansi Islam, sudah mengalami suksesi kepemimpinan secara dinasti selama ratusan tahun.

Piagam Madinah adalah sebuah kontrak sosial yang mengikat seluruh elemen masyarakat.

Kekhalifahan

Jatuhnya Bani Umayyah pada medio abad kedelapan Masehi tidak lantas meluruhkan dominasi bentuk monarki dalam sejarah kepemimpinan Islam. Bahkan, semua daulah atau entitas politik Muslim pasca-Umayyah adalah kerajaan atau kesultanan.

 

Menurut Dr Abdul Chalik dalam Islam, Negara dan Masa Depan Politik, fungsi khalifah mengalami pergeseran dengan adanya kekuasaan turun temurun. Khalifah yang semula sebagai wakil Nabi SAW (khalifaturrasul) dalam meneruskan perjuangan Islam, menjadi wakil Allah (khalifatullah). Namun, gelar itu semata-mata digunakan untuk mencari legalitas kedaulatan atau mendapatkan legitimasi rakyat.

 

Yang pertama kali memakai gelar khalifatullah itu adalah penguasa Umayyah Abdul Malik (687-705). Ia pun adalah khalifah pertama yang mempunyai tujuan membangun imperial atau kekaisaran yang dinyatakan secara eksplisit. Gelar khalifatullah, lanjut Abdul Chalik, menandai suatu klaim atas hak ilahiah dari monarki, suatu otoritas yang berasal langsung dari Tuhan. Interpretasi umumnya ulama-ulama Sunni, khalifah adalah wakil atau pengganti Nabi SAW, pemelihara warisan moral atau material beliau dalam kapasitasnya sebagai pendiri agama dan pencipta masyarakat politik dan komunitas Islam. Itu tidak diartikan dalam konteks jabatan spiritual sebagai pembawa dan penafsir sabda Nabi SAW.

 

Wujud kekhalifahan Islam yang paling mendekati masa kini adalah Turki Utsmaniyah. Reputasinya membesar sejak keberhasilan Mehmed al-Fatih menguasai Bizantium pada 1453 dan mulai mencapai titik kejayaan sejak era Sulaiman al-Qanuni (wafat 1566 M). Dalam perjalanan sejarahnya, Utsmaniyah sempat mengalami era reformasi (tanzimat) pada 1839-1876. Namun, hal itu tidak cukup sukses dalam memulihkan kebesaran dinasti.

 

Kemudian, muncul gerakan Turki Muda yang berupaya menggugat atau bahkan menggulingkan wibawa dinasti Utsmaniyah sejak awal abad ke-20 M. Menurut Azyumardi Azra dalam Transformasi Politik Islam, sejak era al-Qanuni para penguasa Utsmaniyah sesungguhnya tidak pernah menyebut entitas politik mereka sebagai khilafah atau memanggil diri mereka sebagai khalifah. Dengan “rendah hati”, mereka menyebut diri sebagai sultan. Barulah ketika Utsmaniyah terancam gerakan Turki Muda, Abdul Hamid selaku sultan saat itu mulai menyebut diri sebagai khalifah. Hal itu dilakukannya guna menarik simpati dan solidaritas kaum Muslimin dari pelbagai penjuru dunia.

 

Pada 3 Maret 1924, berakhirlah Dinasti Turki Utsmaniyah. Turki kemudian menjadi sebuah republik yang berhaluan sekulerisme. Pasca Perang Dunia II, kaum Muslimin di pelbagai benua mengadopsi bentuk negara-bangsa (nation-state) modern berdasarkan realitas bangsa masing-masing dengan latar sejarah, tradisi, sosial, dan praksis agama yang distingtif.

DOK  WIKIPEDIA

Teladan Toleransi Islam

Sejak awal, syiar Islam memberi ruang adanya interaksi antara Muslimin dan non-Muslim. Saat berada di fase Makkah, Nabi Muhammad SAW bergaul dengan banyak kalangan, termasuk mereka yang beragama Yahudi, Nasrani, Majusi, dan kaum penyembah berhala. Kebanyakan pemuka masyarakat setempat saat itu adalah non-Muslim yang menempati posisi kuasa, baik dalam konteks politik, ekonomi, maupun sosial.

 

Begitu hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW dan kaum Muslimin mengalami realitas baru. Dalam arti, kini umat Islamlah yang lebih memiliki posisi kuasa. Bagaimanapun, Nabi SAW tampil sebagai pemimpin yang menghadirkan harmoni dan persatuan yang menghargai kemajemukan. Piagam Madinah menjadi kesepakatan yang diikuti berbagai elemen masyarakat setempat, baik Muslim maupun non-Muslim.

 

tidak pernah Nabi SAW bersikap semena-mena atau mengabaikan hak-hak dasar dari komunitas pemeluk agama lain. Imam Bukhari meriwayatkan suatu hadis yang memuat wasiat Rasulullah SAW tentang orang kafir dzimmi, Hendaknya ditunaikan kesepakatan perjanjian dengan mereka, tidak memerangi mereka dari arah belakang, dan tidak juga membebani mereka di luar kemampuan mereka.

 

Antara Muslim dan kafir jelas- jelas menganut akidah yang berbeda. Namun, hal itu tidak ke mudian menjadi alasan bermusuhan. Justru, kedua belah pihak perlu mencari titik temu agar melanggengkan kehidupan yang damai dan tenteram. Pembebasan Makkah (Fathu Makkah) pada Jumat, 10 Ramadhan tahun kedelapan Hijriyah adalah momentum penting yang menampilkan wajah Islam sebagai penjunjung tinggi toleransi.

 

Sebelumnya, Rasulullah SAW ditemui oleh pamannya, Abbas, dan Abu Sufyan yang kemudian menyatakan diri Islam. Abu Sufyan lantas kembali ke Makkah untuk mengabarkan penduduk setempat tentang Nabi SAW yang hendak memasuki Makkah dengan pasukan berjumlah besar.

 

Rasulullah SAW membagi 10 ribu prajuritnya ke dalam empat kelompok. Masing-masing dipimpin Zubayr bin Awwam, Khalid bin Wa lid, Sa'd bin `Ubadah, dan Abu `Uba dah al-Jarrah. Beliau berpesan ke pada seluruh pengikutnya agar ti dak menumpahkan darah kecuali bi la memang diperangi terlebih dahulu.

Patriarch Sophronious mempersilakan Umar untuk shalat di gereja itu. Namun, dengan lugas Umar menolak tawaran tersebut.

Nabi Muhammad SAW pun berhasil memasuki Makkah tanpa kekerasan. Setelah bertawaf mengelilingi Ka'bah, beliau menghancur kan semua berhala yang ada di sana. Inilah prinsip keteguhan akidah yang kukuh. Kebathilan lenyap, sedangkan kebenaran tegak berdiri.

 

Kemudian, Rasulullah SAW melihat be gitu banyak penduduk Makkah yang memenuhi Masjidil Haram. Mereka semua menanti apa keputusan dari sang penakluk yang dahulunya diusir dari tanah kelahirannya sendiri hanya karena berbeda agama.

 

Wahai kaum Quraisy! Menurut kalian, apa yang akan kuperbuat kepada kalian? seru Nabi SAW. Jawabannya riuh-rendah. Malahan, ada yang gemetar ketakutan menyaksikan Rasulullah SAW di hadapannya. Maka, berkatalah beliau, Sungguh, aku akan berkata seperti perkataan Nabi Yusuf kepada saudara-saudaranya, `Hari ini tidak ada cemoohan terhadap kalian'. Pergilah, kalian semua telah bebas!

 

Maka, berbondong-bondonglah penduduk kota tersebut berpindah ke agama Islam. Mereka menyaksikan dan mengalami sendiri betapa mulianya akhlak Nabi SAW. Beliau tidak mengungkit-ungkit kezaliman yang telah dilakukan pemuka-pemuka Quraisy pada masa silam.

 

Diutamakannya pengampunan atas mereka, alih-alih meneruskan bara konflik. Inilah makna toleransi yang lebih memprioritaskan kepentingan umum di atas diri pribadi.

 

Para sahabat Nabi SAW mengikuti jejak keteladanan beliau. Umar bin Khattab, misalnya, saat diamanahi sebagai pemimpin berhasil memperluas wilayah kekuasaan daulah Islam. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, pengaruh Islam mencakup hingga ke luar Semenanjung Arab. Pasukan Islam berhasil membebaskan Mesopotamia (kini Irak) dan sebagian Persia dari kekuasaan kekaisaran Sassanid. Mesir, Palestina, Yerusalem, Suriah, Afrika Utara, dan Armenia juga dibebaskan dari cengkeraman kekaisaran Romawi Timur (Byzantium). Khalifah Umar juga menerapkan sistem administrasi birokrasi sampai ke negeri-negeri taklukan.

 

Sejarawan, Maher Y Abu-Munshar, dalam bukunya, Islamic Jerussalem and Its Christian (2007), menjelaskan pengaruh Umar bin Khattab dalam menstabilkan situasi wilayah yang dipimpinnya.

DOK FLICKR

Menurut Maher, Khalifah Umar bertungkus lumus untuk bisa sesegera mungkin mengukuhkan keadilan di seluruh daerah kekuasaannya. Ia lah yang memulai proses kodifikasi hukum Islam. Sahabat Nabi SAW bergelar 'al-Faruq' itu juga membuat administrasi pengadilan agar efektif sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

 

Khalifah Umar dikenal sebagai pribadi yang bersahaja, meskipun begitu keras dan tegas dalam menghadapi kebatilan. Di sisi lain, ia bersikap lemah lembut terhadap kelompok-kelompok yang tidak diperlakukan adil, sekali pun berbeda agama.

 

Keadilan bahkan harus tegak berdiri walaupun dalam suasana perang. Maher menuturkan, kisah penaklukan Yerusalem pada tahun 16 Hijriyah sebagai salah satu contoh gemilang sikap Umar bin Khattab dalam menegakkan keadilan. Prinsip demikianlah yang mendasari hidupnya bertoleransi di Tanah Suci itu.

 

Semua bermula dari kesediaan Patriarch Sophronious, pemuka agama Kristen Ortodoks Yerusalem saat itu, untuk memberikan kunci kota kepada Khalifah Umar bin Khattab. Penyerahan kunci tersebut dilakukan tanpa paksaan, melainkan sebagai upaya diplomasi.

 

Sebagai balasannya, Khalifah Umar pun menawarkan perjanjian damai. Maka lahirlah Deklarasi al-'Uhda al-'Umariyyah atau jaminan keamanan Khalifah atas warga Aelia. Aelia merupakan nama yang diberikan kaum Kristen Ortodoks untuk wilayah Yerusalem saat itu. Kala itu, Yerusalem sebenarnya sudah dalam genggaman pasukan Muslim. Umar memerintahkan mereka untuk menghormati hak-hak setiap warga sipil yang mereka jumpai di sana.

DOK  PEXELS

Khalifah Umar dan Patriarch Sophronious bertemu di Gereja Qiyâmah. Di sinilah perjanjian al-'Uhda al-'Umariyyah disepakati. Meskipun tampil sebagai penguasa, konsistensi Umar tetap terjaga dan menghormati pemuka agama Kristen Ortodoks itu sebagai pihak setara.

 

Usai perjanjian tersebut disepakati, waktu shalat datang. Khalifah Umar lantas bertanya kepada Patriarch Sophronious, di mana ia bisa menunaikan shalat.

 

Patriarch Sophronious mempersilakan Umar untuk shalat di gereja itu. Namun, dengan lugas Umar menolak tawaran tersebut. Alih-alih, ia kemudian keluar dari Gereja Qiyâmah dan shalat di anak tangga. Gereja itu merupakan tempat suci di Yerusalem bagi umat Kristen Ortodoks.

 

Sebagai bentuk penghormatan, di titik anak tangga tempat Khalifah Umar mendirikan shalat kemudian dibangun sebuah masjid kecil. Toleransi yang dicontohkan Khalifah Umar tak berhenti di situ. Ia menganjurkan agar azan tidak dikumandangkan di dalam masjid kecil tersebut. Sebab, dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas umat Kristen Ortodoks di Gereja Qiyâmah, yang tak jauh darinya.

 

Khalifah Umar menjelaskan alasan dia tidak mau shalat di dalam gereja. Sebab, secara simbolis, bila sampai hal itu dilakukan, pasukan Muslim dapat menafsirkannya bahwa Gereja Qiyâmah boleh ditaklukkan sehingga diubah menjadi masjid. Mendengarnya, Patriarch Sophronious mengangguk takzim.

top

Sejarah Islam

Negara-Bangsa dalam